Selasa, 15 Juli 2014

Masjidil Haraam (juga) Sebagai Simbol Alquran

Banyak ayat di dalam Alquran walau bersifat muhkamat, jelas dan gamblang karena kata-katanya dapat diterjemahkan. Tetapi terkadang tetap membutuhkan penjelasan lebih lanjut agar dapat dipahami, karena tetap masih tersamar. Contohnya apa yang disampaikan pada QS. 2 Al Baaqarah ayat 144 dan 150;
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (144). Dan dari mana saja kamu berangkat maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk “(150).    
Ayat ini berbicara tentang pemindahan arah kiblat.
Dimana pada awalnya umat Islam menghadap ke Masjidil Aqsha di Yerusalem, ketika melaksanakan ibadah shalat. Dengan turunnya ayat ini, Allah memerintahkan agar umat Islam kemudian berkiblat ke arah Ka’abah yang terletak di Masjidil Haram. Memang sangat menarik bunyi dari kedua ayat yang bernada perintah ini. Karena kalau kita menerima perintah dari ayat itu apa adanya. Untuk selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram, dimana saja kita berada. Maka sesungguhnya perintah Allah itu, sampai kapan pun rasanya tidak akan pernah dapat dilaksanakan. Bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau setiap saat selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haram? Apalagi bagi mereka yang berprofesi sebagai pengemudi kendaraan. Akan banyak terjadi hal yang tidak diinginkan, bahkan kecelakaan. Kalau setiap orang di setiap saat, hanya memalingkan wajah atau pandangan ke satu arah yang sama. Tetapi kalau perintah ini hanya merupakan suatu ungkapan terhadap suatu pesan tertentu, pesan yang sebenarnya berada disebaliknya. Maka menjadi kewajiban kita bersama untuk mengungkap dan mengetahui maksud sebenarnya dari pesan tersebut. Agar tidak jadi hujatan atau olok-olok, dari mereka yang memang tidak mengerti.
Jika diperhatikan denah dari Masjidil Haraam, dan juga bentuk fisik bangunannya, serta bentuk dari tangan orang yang sedang bersyahadat di dalam ibadah shalat. Dimana orang itu mengacungkan jari telunjuk kanannya, dalam posisi yang terbalik. Disini terlihat ketiga gambar itu menyerupai huruf MIIM yang dituliskan seperti ini; ( ). Perhatikan dan coba bandingkan bentuk huruf MIIM itu dengan ketiga gambar di bawah ini, apakah memang terlihat ada kesamaan atau tidak. Huruf ini merupakan huruf ke 24 dalam susunan secara alfabetis huruf-huruf hijaiyah. Sebagai huruf ke 24 dia berkorelasi dengan nomor surat. Dimana surat ke 24 adalah; surat AN NUUR yang berarti CAHAYA. Inilah mungkin mengapa Dia menyuruh kita memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam, karena disana ada Cahaya. Tetapi Cahaya apa yang sebenarnya ada disana? 
Kalau ada yang mengatakan bahwasanya kompleks Masjidil Haraam yang terlihat menyerupai huruf MIIM ( ) karena dibentuk oleh adanya fisik bangunan, atau dengan kata lain dibuat secara sengaja seperti itu. Maka kita akan membuktikan disini, bahwasanya fisik bangunan yang menyerupai huruf MIIM, hanya mengikuti apa yang terjadi disitu. Berupa dua peristiwa yang dilakukan secara bersamaan, ketika sedemikian banyaknya jama’ah dari berbagai penjuru dunia melaksanakan ibadah Thawaf mengelilingi Ka’abah, dan ibadah Sya’i berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Dimana peristiwa itu dapat saja terjadi pada saat pelaksanaan ibadah Hajji yang berlaku setahun sekali, atau pada pelaksanakan ibadah ‘Umrah yang berlaku di setiap saat. Jadi dari dua bentuk peribadatan, yaitu; Thawaf dan Sya’i yang dilakukan secara bersamaan, dengan sendirinya akan terbentuk huruf MIIM (   ). Karena semakin banyak orang yang melakukan Thawaf, semakin melebar garis lingkaran yang terbentuk. Dan semakin banyak orang yang melakukan Sya’i, semakin melebar pula garis lintasannya.  Dimana akhirnya dua buah garis yang dibentuk oleh banyaknya orang yang Thawaf dan Sya’i. Akan bertemu pada satu titik, sehingga terlihat seperti huruf MIIM (  ), ilustrasinya akan terlihat seperti di bawah ini. 
 
Kata Masjidil Haraam atau Al Masjid Al Haraam, dituliskan di dalam Alquran, dengan susunan huruf-huruf hijaiyah seperti ini.
 
Untuk melihat lebih jauh, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik perintah-Nya agar kita selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam.  Maka kita harus mengurai huruf-huruf dari kata Masjidil Haraam tersebut. Penguraian di mulai dengan cara memisahkan kata Al Masjid dan Al Haraam menjadi dua bagian. Dimana kata Al Masjid diletakkan pada bagian, atas, dan kata Al Haraam diletakkan di bagian bawahnya. Sesudah kedua kata itu dipisahkan, susunannya akan tampak seperti pada tabel 1 di bawah ini.
 
Apa bila kita lepaskan huruf Aliif-laam ( ), dan hanya di ambil kata dasarnya saja. Maka dari kata Al Masjid dan Al Haraam itu, akan didapatkan kata MASJID yang dituliskan dengan 4 huruf, dan kata HARAAM yang juga ditulis dengan 4 huruf, sehingga semuanya berjumlah 8 huruf. Kata MASJID sendiri disamping mempunyai pengertian SUJUD, juga merupakan tempat dimana umat Islam melaksanakan ibadah shalat. Sedangkan kata HARAAM mempunyai pengertian haram atau suci. Dimana Masjidil Haraam tersebut terjaga dari segala perbuatan yang bersifat maksiat, dan terlarang bagi non muslim untuk memasukinya. Secara sederhana kata Al Masjidil Al Haraam dapat dipahami sebagai suatu Tempat Suci yang terletak di Kota MAKKAH. Tempat dimana umat Islam melakukan peribadatan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tempat yang menjadi bagian dari pelaksanaan ibadah Hajji yang dilaksanakan setahun sekali, dan juga ibadah ‘Umrah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Dengan adanya bangunan Ka’abah disitu, maka Masjidil Haraam juga menjadi bagian dari kiblat umat Islam ketika melaksanakan shalat fardhu lima waktu dalam sehari semalam, atau pun shalat sunnah. Selanjutnya setelah huruf Aliif­­­-laam  ) dilepaskan, maka pada tabel 2, kata MASJID dan kata HARAAM akan terlihat seperti di bawah ini. 
                     
 
Kata MASJID di mulai dengan huruf MIIM, dan kata HARAAM juga di akhiri oleh huruf MIIM. Jadi pada penulisan kata MASJID dan kata HARAAM, terlihat ada dua huruf yang berulang, yaitu huruf ke 24, MIIM ( ). Apabila salah satu huruf yang berulang, yaitu; huruf MIIM yang pertama, yang terdapat pada kata MASJID dihilangkan, maka dia akan menyisakan 7 huruf. Bilangan tujuh ini sama banyaknya dengan jumlah menara di Masjidil Haraam. Ketika kompleks Masjidil Haraam belum diperluas dan belum diadakan perubahan, sehingga jumlah menara menjadi sembilan buah seperti sekarang ini. Bilangan tujuh ini menjadi penting, karena dia mewakili banyaknya tumpuan ketika orang sedang bersujud. Tujuh titik tumpuan sujud itu adalah, bagian dahi di kepala, dua bagian telapak tangan kanan dan kiri, dua bagian lutut kanan dan kiri dan dua ujung bagian kaki kanan dan kirii. Dimana kata Sujud juga merupakan simbolisasi dari nilai-nilai keta’atan, serta kepatuhan manusia kepada-Nya. Bilangan tujuh juga merupakan banyaknya jumlah bilangan yang harus dilakukan, ketika orang melaksanakan ibadah Thawaf dan Sya’i, di Masjidil Haraam. Ketujuh huruf yang berasal dari dua kata itu, dapat dilihat pada Tabel 3. Pada bagian ini, nomor urut dari setiap huruf secara alfabetis disertakan.
Selanjutnya apabila nilai angka yang terdapat pada ke tujuh huruf itu dijumlahkan; 24+1+10+6+8+5+12. Maka akan didapatkan nilai angka atau bilangan baru sebanyak; 66. Angka atau bilangan 66 ini tidak ada korelasinya dengan jumlah ayat pada suatu surat, maupun dengan juz yang jumlahnya hanya 30. Bilangan ini hanya berkorelasi dengan nomor urut surat. Nomor urut surat ke 66 adalah surat AT TAHRIIM, yang artinya; MENGHARAMKAN. Kata Mengharamkan ini tidak jauh berbeda pengertiannya dengan kata al Haraam, yang berkaitan dengan al Masjid al Haraam. Atau memang dari sinilah bermula kata al Haraam, yang berkaitan dengan al Masjid al Haraam?
Apabila ketujuh huruf tersebut digabungkan dan dihitung jumlah dari seluruh ayatnya. Maka hasil penjumlahan ayat dari ketujuh surat  tersebut, ada sebanyak 651 ayat. Kemudian jumlah ayat itu dibagi dengan bilangan 7, yaitu; bilangan yang mewakili ketujuh huruf dan juga mewakli ketujuh menara pada bangunan Al Masjid Al Haraam yang lama. Maka akan didapat jumlah bilangan sebanyak; 651:7 = 93. Hal ini mengindikasikan ketujuh menara tersebut mempunyai besaran atau ketinggian yang sama, yaitu; 93. Walaupun dalam hal ini tidak diketahui secara tepat atau pasti. Apakah bilangan ini menyiratkan satuan meter, satuan inci, hasta atau ukuran yang lainnya. Rincian penghitungan terhadap jumlah ayat dari ketujuh surat, dapat dilihat pada tabel 4.     
Angka atau bilangan 93, dapat berkorelasi dengan ayat dan nomor surat di dalam Alqur’an, yaitu; QS. 27 AN NAML yang berarti SEMUT, dengan jumlah ayat sebanyak 93 dan QS. 93 ADH DHUHAA, yang berarti; WAKTU DHUHA. Al Masjidil Al Haraam dimana terdapat Kaabah di bagian tengahnya, merupakan kiblat umat Islam saat melaksanakan ibadah shalat, baik fardhu maupun sunnah. QS. 93 Adh Dhuhaa yang berarti Waktu Dhuha, mengingatkan kita pada salah satu waktu shalat sunnah, yaitu shalat sunnah Dhuha. Waktu Dhuha juga merupakan waktu dimana orang sudah memulai kegiatannya sehari-hari. Bekerja dalam upaya mencari nafkah yang halal untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Sedangkan QS. 27 An Naml yang berarti Semut, adalah serangga yang sangat disiplin dalam kerja berkelompok. Dengan pembagian tugas kerja yang baik, terkoordinir secara rapih di bawah pimpinan ratunya.  Demikian juga seharusnya pemahaman kita terhadap pesan ibadah shalat, di dalam ajaran agama ini. Adanya pembagian waktu yang jelas dan teratur sehubungan dengan ibadah shalat. Harus dipahami sebagai cara Dia mengingatkan manusia kepada kedisiplinan terhadap waktu dan etos kerja, sebagaimana semut melakukannya. Digalakkannya shalat berjama’ah atau berkelompok di dalam ajaran agama ini. Hendaknya juga dimaknai sebagai dasar untuk membentuk nilai kebersamaan dan kesatuan, di dalam kehidupan social berdasarkan petunjuk-Nya di dalam Alquran. Tidak menafikan adanya perbedaan di dalamnya. Karena pada dasarnya setiap individu pada posisinya masing-masing. Seharusnya menjalankan fungsi serta peran yang berbeda-beda, yang telah diamanatkan Allah kepadanya sebagai seorang khalifah di muka bumi, dengan sepenuh kesadaran. Dibangunnya rasa kebersamaan dan kesatuan dalam kehidupan sosial, adalah dalam rangka menuju tujuan bersama. Menuju Kiblat yang sama, yaitu; kehidupan yang “rahmatan lil ‘alamin”  sesuai dengan kehendak-Nya.
Selanjutnya kita kembali lagi kepada kata kata MASJID dan kata HARAAM, yang sudah dipisahkan menjadi dua bagian. Kemudian hubungkan huruf-huruf yang terdapat pada kata MASJID dan kata HARAAM itu, dengan mengikuti gerakan sebagai berikut. 

PERTAMA: hubungkan huruf MIIM (   ) sebagai huruf awal dari kata MASJID, dengan huruf haa kecil (     ) sebagai huruf awal dari kata HARAAM. Selanjutnya hubungkan lagi dengan huruf MIIM (     ) sebagai huruf akhir dari kata SIRAAJ, dan hubungkan juga dengan huruf DAAL () sebagai huruf akhir dari kata MASJID. Gerakan itu ditunjukkan dengan tanda panah berwarna BIRU, seperti terlihat pada table 5. Pada bagian ini, rangkaian dari 4 huruf itu akan membentuk kata MUHAMAD (
), mengingatkan kita kepada nama dari Rasulullah. Hanya saja terlihat disini pada huruf yang ketiga, yaitu; pada huruf MIIM ( )-nya tidak terdapat tanda SADDAH di atasnya, sebagaimana biasa tertulis di dalam Alquran.
KEDUA; dengan gerak yang sama, sebagaimana gerakan yang pertama. Sekarang kita hubungkan huruf SIIN () dengan huruf RAA ( ), selanjutnya kita hubungkan lagi dengan huruf ALIIF (   ) dan yang terakhir hubungkan dengan huruf JIIM (     ). Gerakan yang kedua ini ditandai dengan tanda panah berwarna MERAH. Dari rangkaian 4 huruf ini, kita dapatkan kata SIRAAJ. Jadi dari uraian terhadap kata MASJID dan HARAAM, sekarang kita dapatkan dua suku kata yang baru, yaitu; MUHAMAD dan SIRAAJ, sebagaimana terlihat pada tabel 6. MUHAMAD mengingatkan kita pada nama Rasulullah, sedangkan kata SIRAAJ, berarti; PELITA atau MATAHARI.
Dapat dilihat pada table 6, bahwa nilai bilangan huruf dari kata MUHAMAD, adalah; 24+6+24+8 = 62, sedangkan nilai bilangan huruf dari kata SIRAAJ, adalah; 12+10+1+5 = 28. Ketika kedua nilai bilangan itu dijumlahkan, hasilnya adalah; 62+28 = 90. Jumlah angka atau bilangan sebanyak 90 ini, hanya dapat dikorelasikan dengan nomor surat, yaitu; surat ke 90 dengan judul; AL BALAAD, yang berarti NEGERI. Relevansi antara Al Masjid Al Haraam dengan surat ke 90 Al Balaad. Karena Al Masjid Al Haraam, juga diyakini oleh umat Islam sebagai suatu kawasan atau negeri yang suci. Dimana disitu juga berlaku aturan atau hukum yang harus dipatuhi, sebagaimana selayaknya berlaku di sebuah negeri. 
Kalau pada bagian pertama dari seluruh uraian ini, secara fisik kita melihat Masjidil Haraam menyerupai huruf MIIM sebagai huruf ke 24 (). Di bagian kedua, dari uraian terhadap kata MASJID dan HARAAM, kita dapatkan kata MUHAMAD dengan nilai 62. Sedangkan pada uraian yang ketiga, didapatkan kata SIRAAJ dengan nilai 28. Perhatikan gambarannya pada tabel 7 di bawah ini.
 
Dari ketiga uraian tersebut, setelah nilai huruf itu dikonversikan kepada nilai bilangan, sebagai nomor urut dari huruf-huruf tersebut. Maka didapatkan nilai bilangan sebanyak; 24, 62 dan 28. Kalau nilai bilangan yang didapat dari ketiga uraian ini dijumlahkan. Maka hasil akhirnya, adalah; 24+62+28 = 114. Jumlah bilangan sebanyak ini, menunjukkan jumlah seluruh surat di dalam Alquran. Jadi perintah untuk selalu memalingkan wajah ke arah Masjidil Haraam, dimana saja kita berada. Sebenarnya merupakan ungkapan dari perintah-Nya kepada umat manusia. Untuk selalu menghadapkan diri kepada Cahaya dan  Petunjuk-Nya di dalam Alquran, yang terdiri dari 114 surat. Dengan cara membaca, mempelajari, memahami dan melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari. Karena Alquran merupakan petunjuk dan Cahaya Ilahi bagi mereka yang meyakininya. Agar manusia dapat selamat dan bahagia selama menjalankan kehidupannya di muka bumi, dan kelak pada kehidupan akhirat yang abadi. Inilah bagian dari kajian yang menyertakan angka atau bilangan terhadap petunjuk-Nya, yang semula agak sulit untuk dipahami. Kalau hanya berdasarkan kajian tekstual saja. 
Pada uraian itu juga didapatkan kata MUHAMAD. Tetapi kata MUHAMAD ini, mungkin dianggap belum mewakili nama Muhammad sebagai seorang nabi, sebagaimana biasanya di tuliskan di dalam Alquran. Karena penulisan kata Muhammad di dalam Alquran biasanya ditandai dengan tanda SADDAH ( ) di atas huruf MIIM, yaitu pada huruf yang ketiga, untuk menunjukkan bahwa huruf itu bersifat ganda. Sehingga dalam penulisannya dengan huruf latin pun. Pada kata MUHAMMAD, juga ditempatkan dua huruf M, yaitu; pada urutan huruf yang ke-lima dan ke-enam. Untuk melengkapi, atau mendapatkan adanya tanda SADDAH di atas huruf MIIM yang ketiga. Maka dalam hal ini kita dapat menggunakan huruf MIIM, yang awalnya merupakan simbol dari bentuk fisik Masjidil Haraam, untuk dijadikan sebagai tanda SADDAH. Dengan cara menyatukan huruf MIIM yang ketiga dari kata MUHAMAD, dengan huruf MIIM sebagai simbol dari MASJIDIL HARAAM. Ilustrasi di bawah ini menunjukkan bagaimana huruf MIIM sebagai simbol dari Masjidil Haraam, disatukan dengan kata MUHAMAD tanpa tanda Saddah.
 
Dengan demikian, maka pada huruf MIIM yang ketiga, “sudah terdapat tanda SADDAH”. Karena sudah ada dua huruf MIIM, pada urutan huruf yang ketiga tersebut. Tetapi dalam hal ini patut juga diingat, bahwasanya tanda baca seperti Fattah, Kasroh, Dommah, Sukun atau Saddah. Pada mulanya tidak tercantum, di dalam awal penulisan Alquran. Setelah banyak terjadi perbedaan cara baca atau cara melafazkan, yang disebabkan oleh begitu banyaknya dialek yang berbeda di antara suku-suku di kalangan bangsa Arab. Baru kemudian tanda baca dicantumkan di dalam penulisan Alquran dalam upaya penyeragaman. Jadi sebenarnya penulisan kata MUHAMAD (  ) tanpa tanda Saddah, maupun kata MUHAMMAD (    ) dengan tanda Saddah. Pada dasarnya tetap saja menunjukkan nama Muhammad, sebagai Rasulullah. Hanya saja dalam kajian numerik, dimana setiap huruf diberi nilai angka sesuai urutannya secara alfabetis. Hal ini menjadi penting untuk memperjelas nilai bilangan, sesuai dengan konteks tertentu yang sedang dibahas.
Dengan adanya tanda Saddah itu, kata MUHAMAD sekarang berubah menjadi MUHAMMAD. Demikian juga dengan nilai bilangan yang menyertainya. Berubah menjadi; 24+6+24+24+8 = 86. MUHAMMAD dengan nilai baru sebanyak 86, kemudian disatukan dengan kata SIRAAJ yang nilai hurufnya tetap tidak berubah, sebanyak 28 menjadi; 86+28 = 114. Dimana bilangan sebanyak 114 ini menunjukkan jumlah seluruh surat di dalam Alquran. Mulai dari surat ke 1 Al Faatihah, sampai dengan surat ke 114 An Naas. Sedangkan dua bilangan 86 dan 28, pada bagian ini menjelaskan bahwasanya Alquran yang terdiri dari 114 surat. Memang benar diturunkan di Makkah sebanyak 86 surat, dan diturunkan di Madinna sebanyak 28 surat. Selain itu, nilai bilangan dari kata MUHAMMAD sebanyak 86, atau sebanyak jumlah surat Alquran yang diturunkan di kota Makkah. Menjadi bukti lain, yang memperjelas bahwanya Muhammad sebagai seorang nabi, memang benar adalah penduduk dari kota Makkah. Terlihat disini bahwa keterlibatan angka atau bilangan dalam uraian tentang Alquran. Banyak memberikan kontribusi, terhadap hal-hal yang selama ini belum terungkap.
Sebagaimana awalnya uraian tentang Masjidil Haraam ini dimulai dari pengamatan terhadap bentuk fisiknya, yang menyerupai huruf MIIM. Selanjutnya didapatkan kata MUHAMAD dan kata SIRAAJ. Jadi urutan dari seluruh pengamatan itu tampak seperti di bawah ini. Dimulai dengan adanya Cahaya, selanjutnya MUHAMAD dan kemudian Cahaya lagi. Karena dalam hal ini Pelita atau lampu, demikian juga dengan Matahari, tidak terlepas katannya dengan Cahaya.
Lebih sederhana lagi, gambaran dari ketiga uraian itu tampak seperti berikut ini.
1.CAHAYA
2.MUHAMAD
3.CAHAYA
Menunjukkan keberadaan MUHAMAD di antara dua CAHAYA di bagian kanan dan kiri. Bukankah ini gambaran dari NUUR-MUHAMMAD yang selalu dibicarakan, dicari dan diharapkan orang untuk didapatkan? Cahaya yang berlapis-lapis, seperti dikatakan pada QS. 24 An Nuur ayat ke 35 yang berbunyi;
 “ ……….. nuurun ‘alaa nuur ………..”, cahaya di atas cahaya.
Tetapi karena nilai bilangan dari CAHAYA, MUHAMAD dan CAHAYA itu berjumlah; 24+62+28 = 114, yang berarti; Alquran yang berisikan 114 surat. Maka dapat disimpulkan bahwa ungkapan tentang Nuur-Muhammad itu juga sebenarnya berbicara tentang Alquran. Tidak berbeda dengan Masjidil Haraam yang juga bernilai 114. Ke arah mana kita diperinahkan untuk selalu menghadapkan wajah. Agar kita selalu ingat untuk tetap mengamalkan petunjuk-Nya, dimana pun kita berada. Petunjuk yang diwahyukan kepada Muhammad sebagai utusan-Nya. Penerang bagi keselamatan hidup seluruh umat manusia, dunia dan akhirat.

1 komentar:

  1. kajian yang menarik , lalu bagaimana dengan masjidil aqshaa ?

    BalasHapus